Menyoal Pemberhentian Kepala Daerah
Wendy Melfa
Pengasuh RuDem (Ruang Demokrasi)
Terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang ditandatangani Mendagri Tito Karnavian tanggal 18 November 2020, membuat ruang publik, media tv, cetak maupun media on line, kembali ramai oleh beragam diskusi dan pernyataan.
Ada diskusi dengan substansi menarik, ada yang dengan pilihan diksi skeptis bahkan ada juga yang bernada apatis untuk selalu berbeda dengan apa yang menjadi kebijakan/ langkah dari rezim pemerintah yang berkuasa saat ini.
Tidak kurang, pernyataan pakar hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra (YIM) ikut dimuat beberapa media, misalnya, “Instruksi Mendagri No. 6/2020 tidak bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah” (Kompas.com, 19/11/2020).
Ada lagi, YIM: “Presiden saja tidak berwenang berhentikan Kepala Daerah, apalagi Instruksi Mendagri” (RMOL, 19/11/2020), dan banyak lagi komentar serta pernyataan, termasuk dari berbagai kalangan terkait terbitnya Instruksi Mendagri tersebut, bertebaran di ruang publik.
Membaca dan memahami instruksi Mendagri 6/2020 (cnbcindonesia, 19/11/2020), penulis menilai bahwa substansi instruksi Mendagri tersebut titik tekannya adalah untuk mendorong dan mengingatkan Kepala Daerah sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan di daerah untuk konsisten dan proaktif mengambil langkah-langkah pencegahan dan tidak hanya bertindak responsif/reaktif atas kasus-kasus penyebaran serta bertambahnya angka penularan terkonfirmasi covid-19 di wilayahnya masing-masing.
Dengan kata lain, Instruksi Mendagri tersebut bukan sama sekali menjadi dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah.
Meskipun konstruksi Instruksi Mendagri tidak tercantum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur didalam UU 12/2004 yang kemudian diubah menjadi UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi dalam konteks fungsi mengatur Kepala Daerah sebagai jajaran Mendagri, terbitnya Instruksi Mendagri tersebut dibolehkan dalam hukum ketatanegaraan kita.
Terkait isu pemberhentian kepala daerah, didalam instruksi Mendagri 6/2020 tersebut pun ditekankan merujuk pada ketentuan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mendagri hanya mengingatkan bahwa ketidaktaatan Kepala Daerah menjalankan ketentuan peraturan perudang-undangan dapat dikatagorikan pelanggaran atas kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah, vide: “menaati seluruh ketentuan perundang-undangan”, dan terhadapnya dapat dikenakan ketentuan “tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah/ WakilKepala Daerah”, yang ancamannya dapat diberhentikan melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam UU 23/2014.
Dalam tulisan, “Pemakzulan Kepala Daerah”, penulis pernah mensitir tentang alasan sekaligus mekanisme seorang Kepala Daerah dapat diberhentikan dengan langkah hukum dan politik.
Seorang Kepala Daerah meskipun hasil pemilihan langsung dengan dukungan 100 % pemilih sekalipun, kedudukannyanya sama dihadapan hukum, asas equality before the law tetap berlaku terhadapnya. Oleh karena itu Kepala Daerah hasil pilkada langsung sekalipun, apabila tidak menaati ketntuan UU, maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi, termasuk pemberhentian.
Ingat kasus pemberhentian Aceng Fikri, Bupati Garut (2009-2013) yang populer ketika tahun 2012 karena kawin siri singkat selama 4 hari yang kemudian harus menghadapi hujatan publik sampai berujung pada pemberhetian dirinya sebagai Bupati oleh DPRD setempat.
Bila kasus Aceng Fikri yang sesungguhnya bernuansa privat, hubungan pribadi dengan pribadi wanita muda saja dapat diproses untuk pemberhentiannya, maka tentu ketidaktaatan Kepala Daerah atas ketentuan UU yang mengatur tentang protokol Kesehatan, pencegahan penyebaran covid-19 dan langkah-langkah lain yang sepatutnya dilakukan untuk mencegah dan mengurangi korban tertular covid-19 bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, maka ketidaktaatan atas ketentuan UU ini juga dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Kepala Daerah dari jabatannya dengan menggunakan mekanisme politik dan hukum sebagaimana diatur dalam UU 23/2014.
Itulah pesan yang tersurat di dalam Instruksi Mendagri 6/2020.
Dibaca 102 x
Komentar post