Metamorfosis dari Rentenir ke Koperasi adalah bentuk pengaburan identitas agar lebih dipercaya dan berimage baik di mata calon mangsanya; itulah Rentenir. Dengan cara demikian mereka terhindar dari stigma jelek di masyarakat, yaitu dicap sebagai lintah darat.
Bukan rahasia lagi dan hampir setiap kalangan tahu mana koperasi murni, mana rentenir berkedok koperasi. Hal ini sangat mudah diketahui, tetapi semua tutup mata dan membiarkan mereka beroperasi sesuka hati. Kenapa….?
Penyebabnya karena masyarakat sangat antusias menyambut adanya “Koperasi” ini, dimana mereka dimudahkan dalam proses pengajuan pinjaman uang. Mereka tidak diharuskan untuk menyimpan dulu baik simpanan pokok, simpanan wajib atau simpanan sukarela, sebagimana diwajibkan bila mereka menjadi anggota koperasi murni.
Untuk rentenir berkedok koperasi, dalam proses pinjaman, masyarakat hanya perlu melengkapi syarat berupa KTP dan Jaminan (Sertifikat, BPKB, Ijazah, Akte Kelahiran atau bahkan Kartu ATM plus PINnya). Dengan waktu proses yang sangat singkat, pengajuan pinjaman merekapun disetujui. Padahal tanpa disadari masyarakat terjebak dalam cengkraman rentenir yang penuh riba dan akan terus menjadi ketergantungan pada mereka.
Jika untuk mengidentifikasi rentenir berkedok koperasi sangat mudah, lalu mengapa koperasi jenis ini sangat sulit ditertibkan. Inilah yang akan penulis bahas untuk memulai mengurai benang kusut ini.
Ada beberapa faktor yang menjadikan mudahnya rentenir bermetamorfosis menjadi koperasi.
1. Sangat mudah diakalinya persyaratan proses pembentukan Koperasi.
2. Proses perijinan dari pemerintah tidak dibarengi dengan verifikasi dan validasi data faktual.
3. Fungsi Pengawasan, Pencegahan Dan Penindakan relatif tidak ada, baik dari pusat maupun dari daerah paska penerbitan Badan Hukum.
4. Masyarakat tidak peka terhadap keberadaan koperasi (dalam tanda kutip) terkait pendidikan, pengetahuan dan sosialisasi akan bahayanya berhubungan dengan rentenir, baik secara kemasyarakatan, maupun secara keagamaan.
Lalu harus bagaimana kita dan siapa saja yang bisa bertindak?
Untuk hal ini, pentingnya kita kembalikan kepada peraturan yang ada, karena semuanya sudah tertuang baik dalam undang undang, aturan Hukum, maupun dalam peraturan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Tinggal ada atau tidaknya kemauan untuk menindaklanjuti secara real dan masif.
Didaerah tertentu ada seorang bupati dan wakil Bupati turun langsung ke lapangan untuk menyidak koperasi yang didalamnya adalah usaha simpan pinjam pribadi. Tetapi itu hanya sebagian kecil, lalu kemana kepala daerah lain yang di wilayahnya juga terdapat rentenir berkedok koperasi.
Mereka spertinya belum sampai ke fase sidak lapangan, mungkin saja mempersoalkan tetapi hanya sebatas himbauan dan wacana dimuka umum, dan beranggapan masih mendingan daripada tidak ada upaya sama sekali.
Selanjutnya, ditengah gencarnya kampanye untuk mendorong masyarakat untuk berkoperasi, demi mewujudkan kesejahteraan bersama, seyogyanya kampanye ini jangan sampai dibypass oleh kalangan tertentu untuk dimanfaatkan sebagai keuntungan pribadi (rentenir).
Kesimpulannya, masyarakat perlu diberi pemahaman yang baik terhadap dampak sosial maupun keagamaan dan betapa meruginya ketika mereka masuk dalam lingkaran riba rentenir.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita telaah bersama.
Soreang, 5 Agustus 2020
Jaelani
Dibaca 254 x
Komentar post