Edison Wahidin, SH., MH
— Pengamat Hukum Tata Negara —
Dalam dua tahun usia kepemimpinan Gubernur H. Herman Deru (HD) dan Ir. Mawardi Yahya (MY), sudah banyak yang dilakukan untuk kemajuan Provinsi Sumatera Selatan. Pasangan pemimpin ini terus bersinergi untuk merealisasikan janji-janji yang dilontarkan saat keduanya berkampanye. Meski banyak yang sudah dilakukan, masyarakat terus menunggu gebrakan atau terobosan HDMY sehingga masyarakat, terutama para pemilih keduanya, merasakan secara nyata hasil pilihan mereka benar-benar mampu mengemban amanah. Apalagi saat masa kampanye, sosok HD dinilai sebagai manisfestasi rakyat kecil yang bersahaja, ramah, peduli dan responsif terhadap keinginan dan harapan masyarakat untuk menjadikan Sumsel lebih maju dan lebih baik dengan mengusung tema Sumsel Maju Bersama.
HDMY adalah kolaborasi dua tokoh Sumsel yang masing-masing sudah pernah berpengalaman memimpin wilayah kabupaten dua priode dengan prestasi yang mumpuni. Karena itulah masyarakat ingin keduanya berkolaborasi merancang program, visi dan misi dan kemudian mengeksekusinya untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat Sumsel.
Tentu apa yang dikerjakan keduanya dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya tidak bisa menyenangkan atau memuaskan semua pihak. Apalagi apa yang dijanjikan membutuhkan penyesuaian-penyesuian terkait dengan dinamika politik, ekonomi, sosial; belum termasuk penyesuaian yang berkaitan dengan politik anggaran dan aspirasi “dadakan”.
Oleh karena itu, bila kemudian ada yang melakukan unjuk rasa yang menentang atau mengoreksi apa yang dilakukan HDMY, hal itu wajar sepanjang yang disuarakan melalui unjuk rasa tersebut tidak mem fait accompli bahwa HDMY salah.
Seperti yang terjadi pada tanggal 29 Oktober 2020 dimana belasan mahasisawa melakukan unjuk rasa mengatasnamakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat UIN RF dengan koordinator aksi Lovi Andiko menyuarakan atau menagih janji kampanye sang gubernur, seperti janji menghidupkan kembali sekolah dan kuliah gratis, berobat gratis, dan lain-lain. Unjuk rasa ini mereka lakukan dengan memanfaatkan momentum rencana sang gubernur memindahkan kantor gubernur Sumsel dari lokasi yang sekarang di Jalan Kapten A. Rivai Kota Palembang ke lokasi baru di Jl. Letjen Yusuf Singadekane, Keramasan Palembang.
“Saat ini kan kondisi kita sedang dalam kesusahan, alangkah baiknya kegiatan yang menggunakan anggaran besar itu dimanfaatkan dengan baik. Jangan terkesan membuang-buang anggaran,” terang Lovi dan tuntutannya.
Lebih lanjut mereka juga menganggap program Pemprov Sumsel terkait rencana sangat tidak urgent, tidak subtansial dan tidak relevan apalagi di masa pandemi seperti saat ini dimana seharusnya pemimpin sibuk memikirkan keselamatan rakyat, meningkatkan pelayanan kesehatan, peningkatan standard pendidikan, mengatasi pengangguran, meminimalisir penyebaran Covid 19, serta peka terhadap isu kemasyarakatan lainnya.
Untuk beberapa hal, menurut pengamatan penulis, apa yang disuarakan HMI tersebut bisa dipahami, tetapi bila dilihat dari sisi program kerja sang gubernur yang tentunya tidak bisa lepas dari politik anggaran, apa yang dilakukan oleh gubernur untuk memindahkan kantor gubernur tersebut juga bisa dipahami.
Gubernur HD tentu sudah merancang program untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya seperti menghidupkan kembali Sekolah dan Kuliah Gratis, atau mewujudkan “Berobat Gratis” cukup dengan KTP; tetapi untuk mengeksekusinya, gubernur harus duduk bersama dengan DPRD, sehingga sekali lagi bisa dikatakan bahwa merealisaikan janji politik itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Adapun suara HMI yang menuntut Gubernur Sumatera Selatan untuk membatalkan perpindahan kantor Gubernur karena disinyalir banyak sekali dugaan pelanggaran melawan hukum dalam proses perencanaan, penganggaran serta pelaksanaannya, hal ini masih debatable karena gubernur juga memiliki hak prerogatif untuk menentukan kebijakan sendiri.
Terkait dengan tuntutan HMI yang mendesak DPRD Sumsel mengevaluasi seluruh program Gubernur Sumsel dan menjalankan fungsi kontrolingnya secara maksimal dan meminta Kapolda Sumsel terutama Direktorat Tindak Pidana khusus untuk melakukan investigasi dan pemeriksaan terkait ada tidaknya tindak pidana/pelaksanaan pengambilan penambangan pasir yang diduga merusak lingkungan dan merugikan warga masyarakat, ini juga debatable karena bisa dikatakan tidak relevan dengan tuntuan HMI untuk membatalkan rencana pemindahan kantor Gubernur.
Terhadap aksi tersebut, HD menyampaikan permintaan maafnya lantaran belum maksimalnya kepemimpinannya selama dua tahun ini dan dirinya hanya menyelamatkan aset Pemprov, dimana sudah ribuan aset Pemprov hilang di dalam penemuan BPK RI dan apabila dalam proses penimbunan ini ada masalah terhambatnya lalu lintas, HD mengungkapkan bahwa dirinya sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan Dishub Provinsi dan Kota Palembang untuk mengatasinya. Terkait pengambilan pasir, HD menjelaskan itu hanya pasir uruk, bukan pasir untuk beton yang akan membuat pendangkalan sungai.
Aksi mahasiswa HMI terkait refleksi atas janji politik gubernur Sumsel tersebut menurut kajian hukum tata negara pada prinsipnya memang penting dilakukan oleh masyarakat yang dalam hal ini dilakukan oleh mahasiswa sebagai fungsi kontrol bagi pemerintah (Check and Balance) dalam menentukan arah kebijakan dan peran serta masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Sehubungan dari penyampaian aksi terkait perpindahan Kantor Gubernur Sumatera Selatan yang rencananya akan pindah di Jalan Mayjen Yusuf Singadekane, Keramasan, Kertapati, Kota Palembang, yang saat ini masih dalam tahap penimbunan lahan seluas empat puluh (40) ha. tersebut, menurut penulis, pemerintah provinsi Sumsel tentu sudah menganalisa dampak penimbunan melalui kajian Amdal (Analisis dampak lingkungan) yang mendalam dengan melibatkan instansi terkait sehingga apabila muncul persoalan terkait hal tersebut, itu sudah tentu menjadi tanggung jawab gubernur selaku pemangku kebijakan.
Dalam perspektif tatanan hukum tata negara, di satu sisi, kita harus mengapresiasi aksi mahasiswa sebagai aksi kaum intelektual yang aktif dan kritis dan mengemban perannya sebagai Social Control dalam memantau kebijakan pemerintah; di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa gubernur sebagai kepala daerah memiliki kebijakan politik untuk mewujudkan visi dan misi dalam memenuhi janji politiknya saat kampanye sesuai UU 23 Tahun 2014 tentang Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sebagai masyarakat, di bawah kepemimpinan HDMY, kita berharap Sumsel benar-benar bisa maju dan lebih baik sesuai dengan motto politik pemerintah provinsi saat ini. (IS/Dms)
Dibaca 365 x
Komentar post