By. Edison Wahidin, SH., MH
Selain Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pemerintah juga telah mengeluarkan dan mengimplementasikan Undang-Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU NO 25 tahun 2009. UU ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik bagi seluruh warga negara termasuk penduduk yang berkebutuhan khusus yaitu kaum difabel.
Undang-Undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa pelayanan publik memiliki beberapa asas yang mengamanahkan kemudahan aksesibilitas kepada difabel. Namun demikian, tampaknya kehadiran undang-undang ini belum mampu menjadi pegangan bagi penyelenggara pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik tanpa diskriminasi. Para difabel masih menemui hambatan fisik dan psikologis dalam memperoleh hak-hak mereka.
Pelayanan publik seharusnya memperhatikan asas-asas keadilan dan non-diskriminatif, seperti tercantum dalam UU no 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Menurut UU tersebut, pelayanan publik dikatakan baik jika memenuhi beberapa asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tindak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakukan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan kemudahan dan keterjangkauan.
Dengan demikian, jelas bahwa seharusnya pelayanan publik tetap memperhatikan keadilan dan ramah terhadap masyarakat berkebutuhan khusus seperti kaum difabel sebagai salah satu kelompok masyarakat rentan selain wanita dan anak-anak.
Difabel menurut Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik, (b) penyandang cacat mental, dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
Difabel bukan hanya merupakan orang-orang penyandang cacat sejak lahir melainkan juga korban bencana alam atau perang yang mendapatkan kecacatan di tengah-tengah hidupnya maupun para penderita penyakit yang mengalami gangguan melakukan aktivitas secara selayaknya baik gangguan fisik maupun mental.
Beberapa jenis gangguan yang menyebabkan tergolongnya seseorang menjadi difabel adalah sebagai berikut : tuna netra (buta), tuna rungu (tuli), tuna wicara (bisu), tuna daksa (cacat tubuh), tuna grahita (cacat mental) dan tuna ganda ( komplikasi antara dua atau lebih bentuk kecacatan).
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa difabel merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap difabel berhak memperoleh: (a) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (c) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (d) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (e) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (f) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi difabel anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam penanganan sosial bagi penyandang disabilitas, pemerintah belum menyeluruh dalam memberikan pelayanan publik tanpa diskriminasi dengan memperhatikan asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban terhadap masyarakat berkebutuhan khusus atau disabiltas. (*)
Dibaca 72 x
Komentar post