Proses pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) hanya berlangsung tiga hari saja sebelum akhirnya disahkan pada Selasa kemarin, 1 September 2020.
Beberapa pakar hukum dan masyarakat menyayangkan proses pembahasan revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang berlangsung cepat dan tertutup.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan poin revisi UU ini juga salah alamat.
“Dulu seingat saya RUU yang diubah itu komprehensif, bukan sekadar masa jabatan. Ada hukum acara, soal kuorum, dan sebagainya,” kata Zainal, Rabu, 2 September 2020.
Adapun revisi UU MK yang dilakukan pemerintah dan DPR menyangkut usia minimal dan usia pensiun hakim konstitusi, perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, perubahan unsur Majelis Kehormatan MK, dan perpanjangan masa jabatan bagi hakim MK yang saat ini menjabat hingga usia pensiun 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tak melebihi 15 tahun.
Zainal menilai poin revisi UU MK salah alamat dan tak sesuai dengan kebutuhan Mahkamah. Ia pun menganggap poin-poin itu seperti dipaksakan untuk diubah.
“Itu yang saya bilang jangan-jangan ada kepentingan politik. Jangan-jangan berkaitan dengan penentuan siapa akan jadi ketua MK, jangan-jangan berkaitan dengan kepentingan politik untuk memanjakan MK,” kata dia.
Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, proses revisi UU MK menunjukkan adanya kemunduran konstitusi di Indonesia. Ia mengatakan Kode Inisiatif akan mengupayakan uji konstitusionalitas UU MK yang baru.
“Kode Inisiatif akan mengupayakan pengujian konstitusionalitas UU Mahkamah Konstitusi, baik dari segi formil maupun materiil,” kata Violla dalam keterangannya, Rabu, 2 September 2020.(Mestudin/Line)
Dibaca 173 x
Komentar post